PAUD Anugrah Bunda Desa Sungai Petai Disegel: Jejak Hibah yang Retak dan Anak-Anak yang Terlupakan
Oleh Vox Populi Vox Dei
JurnalBengkulu.com – Sebuah papan kayu terpasang rapat di pintu gedung PAUD Anugrah Bunda Desa Sungai Petai, Kecamatan Talo Kecil. Tidak ada tawa riang anak-anak, tidak ada guru yang menyambut pagi. Sejak Senin, 24 Agustus 2025, gedung itu resmi disegel oleh Kabri, pemilik lahan yang tujuh tahun lalu justru menghibahkan tanah tersebut untuk pendidikan anak-anak desa.
Kini, puluhan siswa usia dini belajar seadanya di gedung Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Lantai dingin, kursi terbatas, dan ruangan tanpa alat bermain membuat suasana belajar jauh dari ideal.
Jejak Hibah yang Berbalik ArahKisah ini bermula tahun 2017, ketika Kabri, warga desa setempat, dengan sukarela menghibahkan sebidang tanah untuk pembangunan PAUD. Di bawah kepemimpinan Kades Tarmizi kala itu, masyarakat menyambut baik. PAUD Anugrah Bunda pun berdiri, menjadi kebanggaan desa kecil di tepian Seluma.
Namun, hibah yang semestinya abadi itu kini berubah arah. Kabri menutup kembali akses ke tanahnya. Dari sisi hukum, hibah yang sah tidak bisa ditarik kembali. Tapi di lapangan, penghibah sering merasa tetap punya kuasa moral atas tanah yang dulu ia lepaskan. Di sinilah letak kerentanan: administrasi lemah membuka celah konflik.
Konflik Keluarga dan Kepemimpinan PAUD
Kasus ini tidak berhenti di soal tanah. Api konflik semakin menyala karena Kepala PAUD saat ini adalah Sarti, putri dari Kabri. Posisi ini menimbulkan ketegangan dengan sebagian wali murid.
Orang tua menilai metode pengajaran Sarti terlalu menekankan calistung (membaca, menulis, berhitung), padahal sesuai pendekatan pendidikan anak usia dini, fokus seharusnya pada bermain, kreativitas, dan interaksi sosial.
“Anak saya baru empat tahun, tapi dipaksa membaca. Itu membuat dia stres. Kami protes, tapi tidak ditanggapi,” ujar seorang wali murid yang enggan disebut namanya.
Ketidakpuasan ini memunculkan perlawanan halus dari orang tua, yang kemudian berkelindan dengan kuasa Kabri sebagai penghibah tanah. Alhasil, penyegelan bukan sekadar aksi pribadi, melainkan simbol perlawanan terhadap tata kelola PAUD yang dianggap tidak sehat.
Pemerintah Desa dalam Pusaran Dilema
Kepala Desa Sungai Petai, Rendi, berada di tengah pusaran. Ia mengakui penyegelan ini bukan hanya soal hibah tanah. “Dalam surat hibah jelas tanah itu untuk masyarakat. Tapi sekarang disegel lagi. Akar masalah bukan sekadar hibah, tapi siapa yang layak memimpin PAUD,” tegasnya.
Namun, Pemdes sendiri dituding kurang sigap. Seharusnya sejak awal, status hibah diperkuat dengan akta notaris dan sertifikat tanah atas nama desa. Begitu pula kepemimpinan PAUD, mestinya melibatkan komite orang tua dan lembaga independen, bukan sekadar hubungan keluarga.
Suara dari Orang TuaDi halaman gedung BUMDes, para orang tua terlihat menunggu anaknya belajar. Mereka berharap konflik ini segera selesai.
“Anak-anak jadi korban. Belajar tidak nyaman, tempat tidak layak. Kami tidak peduli siapa kepala PAUD, yang penting pendidikan berjalan,” kata seorang ibu wali murid dengan nada kesal.Ada pula yang menyayangkan sikap Kabri. “Kalau sudah dihibahkan untuk masyarakat, ya jangan ditarik lagi. Itu sama saja merampas hak anak-anak,” tambah seorang tokoh desa.
Analisa Hukum dan Moralitas PublikSecara hukum, tindakan penyegelan berpotensi melanggar asas hibah dalam KUH Perdata. Dari sisi pendidikan, UU Sisdiknas menegaskan setiap anak berhak atas layanan pendidikan yang layak. Dengan penyegelan ini, hak anak-anak jelas terganggu.
Dari sisi moralitas, konflik ini mencerminkan kepentingan pribadi dan keluarga yang lebih dominan dibanding kepentingan anak-anak desa. Akibatnya, pendidikan usia dini—fondasi generasi masa depan—terabaikan.
Jalan Keluar: Musyawarah atau Jalur Hukum?
Ada dua skenario penyelesaian:
1. Musyawarah Desa: Melibatkan Pemdes, Kabri, komite wali murid, dan tokoh masyarakat untuk mencari win-win solution.
2. Jalur Hukum: Jika musyawarah gagal, Pemdes bisa menggugat balik penghibah atas dasar surat hibah sah.Namun, solusi tercepat adalah mengembalikan fungsi gedung PAUD sembari mengevaluasi kepemimpinan. PAUD harus dikelola transparan, profesional, dan berbasis kebutuhan anak, bukan kepentingan keluarga.
Penutup
Konflik PAUD Anugrah Bunda di Desa Sungai Petai bukan sekadar sengketa tanah. Ini adalah cermin rapuhnya tata kelola pendidikan desa, di mana administrasi lemah dan kepentingan keluarga bisa menyingkirkan hak anak.
Di balik papan segel yang menutup pintu PAUD, ada suara-suara kecil anak-anak yang mestinya belajar dan bermain dengan riang. Pertanyaannya, sampai kapan mereka harus menjadi korban pertarungan orang dewasa?
Skema Alur Konflik PAUD Anugrah Bunda, Desa Sungai Petai1. 2017 – Hibah Tanah
Kabri menghibahkan tanah kepada desa.
Tujuan: pembangunan PAUD Anugrah Bunda.
⬇️2. PAUD BeroperasiGedung berdiri & digunakan.
Kepala PAUD: Sarti (anak Kabri).
⬇️3. Ketidakpuasan Wali MuridMetode mengajar Sarti terlalu menekankan calistung.
Orang tua protes → tidak sesuai prinsip PAUD.
⬇️4. Konflik Kepemimpinan
Pertentangan siapa yang layak pimpin PAUD.
Ketidakpuasan memicu gesekan internal.
⬇️5. 24 Agustus 2025 – PenyegelanKabri segel gedung PAUD.
Dalih: tanah miliknya, merasa punya kuasa.
⬇️6. DampakPuluhan siswa dipindahkan ke gedung BUMDes.
Belajar tidak optimal, fasilitas minim.
Hak anak atas pendidikan terganggu.
⬇️7. ReaksiWali murid kecewa → anak-anak jadi korban.
Kepala Desa: masalah bukan hanya hibah, tapi juga kepemimpinan.
⬇️8. Potensi Jalan KeluarMusyawarah desa → solusi win-win.
Jalur hukum → hibah tidak bisa ditarik kembali.