BUMDes Tidak Berkembang, Ini Penyebab Utamanya !
Jurnalbengkulu.com, Artikel - Presiden Republik Indonesia Ir.H.Joko Widodo sudah memasuki pemerintahan periode ke dua, artinya sudah memasuki tahun ke lima sejak undang undang desa disahkan, akan tetapi perkembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dalam upaya mendorong kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat melalui unit usaha yang dibangun, belum sesuai dengan harapan.
Pedoman bagi daerah dan desa dalam pembentukan dan pengelolaan BUMDes Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yaitu mengacu pada Permendesa Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa.
Kita masih mendapati ratusan bahkan sampai ribuan desa yang bahkan sampai hari ini belum mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Pun yang sudah memiliki Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) masih terkesan hanya papan nama dan mati suri.
Kondisi ini terjadi, tidak lain oleh adanya hambatan yang terjadi di Desa, tentu kita perlu mengetahui apa sajakah hambatan-hambatan yang dialami sebagian besar Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), sehingga tidak dapat berjalan sesuai tujuan atau harapan yang diharapkan Pemerintah.
Penulis Blog Juragan Desa telah melakukan penelusuran data dan pengolahan data yang memberikan gambaran atas pertanyaan di atas. Berikut penulis uraikan di bawah ini:
A. Tidak Ada Pemahaman Bersama
Untuk kita ketahui, bahwa pemahaman bersama mengenai Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) belum benar-benar sampai kepada masyarakat. Hal ini diawali dari pemahaman perangkat desa terutama kepala desa mengenai Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang juga masih sangat kurang. Kondisi ini dikarenakan selama ini posisi perangkat desa dan kepada desa adalah hanya pelaksana tugas atau sebagai kepanjangan tangan dari struktur pemerintah di atasnya yaitu lebih banyak berurusan dengan masalah administrasi dan menanggungjawab proyek dan program yang datang dari atas.
Oleh karena itu keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) tidak serta merta dapat dipahami, perlu kerja keras untuk benar-benar dapat memahami Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang lebih bertumpu pada masalah kewirausahaan dan kemandirian ekonomi desa. Karena pemahaman mengenai Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di kalangan perangkat desa masih sangat lemah, maka wacana Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) tidak tersosialisasi dengan baik kepada warga desa. Sehingga tidak tumbuh pemahaman bersama tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan urgensi dari pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) bagi desa dan masyarakat.
B. Belum Memahami Wewenang Desa
Tidak dapat kita pungkiri, bahwa masih banyak perangkat desa yang belum memahami sepenuhnya wewenang yang dimiliki desa sesuai dengan isi dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pemahaman tentang asas subsidiaritas dan rekognisi belum sepenuhnya dimanfaatkan sebagai kekuatan desa dalam upaya menggali dan memanfaatkan potensi desa.Pahamnya perangkat desa tentang wewenang desa ini, kemudian menjadikan pemerintah desa masih ragu dalam menjalankan wewenang desa secara penuh. Sehingga, upaya untuk membangun BUMDes sebagai badan yang akan mewadahi penggalian potensi desa pun tidak kunjung terwujud.
C. Tidak Memahami Konsep
Sebelum undang undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa disahkan, kita dapat memahami bahwa konsep pembangunan desa dipahami masih sebatas pemahaman pembangunan fisik dan atas arahan struktur dari atas. Hal ini dikarenakan program pembangunan fisik lebih gampang terlihat sebagai ‘kerja nyata’ karena ada bentuk fisik yang terlihat oleh masyarakat.
Konsep pembangunan fisik, berbanding terbalik dengan proyek pemberdayaan yang bersifat program dan hasilnya tidak terlihat secara fisik. Padahal pembangunan sumber daya manusia, adalah satu modal penting dalam menjalankan kemandirian desa. Masih lemahnya pembangunan sumber daya manusia pada akhirnya membuat kapasitas kelembagaan dan kewirausahaan desa tidak berkembang.
Sehingga, akan sulit menemukan individu yang memiliki inisiatif mendirikan lembaga bersama untuk kesejahteraan bersama, pun pemerintah desa kesulitan mencari orang-orang yang memiliki kapasitas sebagai pengelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
D. Tidak Ada Keterbukaan Informasi Publik di Desa
Keterbukaan informasi Publik masih menjadi kendala yang banyak kita temukan di desa-desa. Pusat informasi masih berada di antara elite desa, belum sampai kepada masyarakat secara luas. Sehingga isu-isu penting, program-program yang ada hanya diketahui oleh segelintir orang atau elite-elite desa.
Ketiak tahuan masyarakat atas informasi penting seputar desa menjadikan program hanya diisi atau diikuti oleh orang itu-itu saja, atau istilahnya lingkaran keluarga perangkat desa dan kepala desa.
Maka, ketika mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) pun pada akhirnya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dalam kepengurusan atau strukturnya diisi oleh orang-orang dekat kepala desa atau bahkan keluarganya sendiri. Bisa ditebak, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) kemudian berdiri seperti badan usaha milik keluarga, usaha yang dijalankan pun tidak berdampak pada kemaslahatan masyarakat.
Maka tidak heran jika Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang diawali dari sistem semacam ini kemudian mati suri karena dalam proses usaha tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat sebagai bagian dari modal sosial dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
E. Adanya Perilaku Koruptif
Perilaku Koruptif masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah juga kita sebagai warga negara. Perilaku ini sangat mencederai prinsip bernegara sebagai sebuah bangsa yang besar berlandaskan hukum dan moral. Banyaknya perilaku kekuasaan yang koruptif pada struktur atas, menjadikan spirit menciptakan perubahan sosial untuk masyarakat menjadi loyo dan tidak mendapatkan tempat.
Pun, perilaku koruptif di kalangan atas tidak menutup kemungkinan perilaku yang sama juga terjadi di kalangan pemerintah desa. Walau perih, kita masih harus menerima kenyataan bahwa masih ada ratusan kepala desa yang saat ini menghadapi meja hijau karena diduga menyalahgunakan dana desa untuk kepentingan dirinya sendiri atau kepentingan kelompok.
F. Masih ada Trauma Kegagalan Dari Perangkat Desa
Sebagaimana sudah kita pahami sama-sama, bahwa upaya pemerintah Desa untuk membangun desa telah dilakukan sejak lama, kita bersama memahami banyak program yang telah dikeluarkan pemerintah, ada yang berhasil namun ada pula yang gagal.
Kenyataannya bahwa banyak program pemerintah sebelum BUMDes seperti KUD, BUUD dan berbagai program lainnya yang gagal dan tak tentu rimbanya itu menjadikan sebagian besar warga desa berpikir bahwa mereka tidak harus mengembalikan dana yang seharusnya menjadi modal bagi usaha desa yang dijalankan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Karenanya, dalam membangun dan mengelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) mental untuk berkembang menjadikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai badan usaha yang sejati mentok, pengelola berpikir bahwa rugi tidak apa-apa, dana tidak perlu kembali, yang dulu juga gagal. Pemahaman semacam ini sangat berbahaya. Karena sebagai badan usaha, layaknya perusahaan, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) harus memiliki tujuan keuntungan guna terlaksananya kemandirian ekonomi.
G. Lemahnya Kemampuan Manajerial
Memang tidak mudah bagi desa untuk mendapatkan seorang yang memiliki kemampuan manajerial unggul dalam hal pengelolaan usaha. Ketika pun ada, biasanya sudah memiliki pekerjaan tetap, sehingga ketika diminta untuk mengelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) maka itu hanya sebatas sambilan saja. Akibatnya, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) tidak melaju dan hanya jalan di tempat.
Kondisi kedua, karena tidak ada yang sesuai standar manajerial, maka pemerintah desa akan menunjuk orang degan kapasitas yang belum memadai, ditandai dengan track record yang dimilikinya, hal ini akan sama saja dengan membawa Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) pada arah yang lebih mengkhawatirkan.
Lemahnya kemampuan manajerial, memang persoalan yang perlu diatasi, salah satunya dengan melakukan pendidikan dan pelatihan, baik itu dilakukan secara internal atau dilakukan oleh pihak ketiga atau eksternal, misalnya melalui program Sekolah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
H. BUMDes tidak menarik generasi muda (Kaum Milenial)
Keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) belum benar-benar dapat menarik generasi muda sebagai pengelola. Bisa dibilang masih banyak di berbagai desa di Indonesia bahwa Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) tidak menarik bagi sebagian besar anak muda untuk berkarya dalam pengembangan BUMDes di Desa, banyak perangkat desa yang tidak mau memakai jasa milenial untuk mengembangkan BUMDes di Desa.
Salah satunya kendala, sehingga masih sulit meyakinkan kaum muda bahwa Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) bisa menjamin kesejahteraan bagi para pegiatnya. Bahwa Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) adalah harapan yang dapat mereka gunakan guna kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat desa.
Ketidak tertarikan generasi milenial, menjadikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) masih dikelola dengan logika usaha yang dibangun atau dijalankan dengan model konvensional karena dijalankan generasi tua. Seharusnya, generasi muda dan generasi tua saling tersinkronisasi untuk mewujudkan desa mandiri melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Sebagaimana yang telah kita bahas di atas, beberapa situasi yang masih menghambat laju Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) menjadi seperti yang diharapkan. Kita bersama perlu meyakinkan diri bahwa desa-desa di seluruh Indonesia harus beranjak dari pola lama karena saat ini melalui undang undang desa, ada wewenang penuh desa untuk mengotomatisasi asset dan kekayaan yang dimilikinya.
Bagaimana kondisi desa dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di tempat sahabat semua? Semoga jauh lebih baik, dan jika dan kendala yang sama, atau ada kendala lain, mari kita diskusikan bersama. Mari bersama-sama kita belajar tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di Sekolah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Semoga artikel ini dapat menjadi rujukan bagi pemangku kepentingan di Desa agar paham mengapa BUMDes Tidak Berkembang, dan apa yang menjadi penyebab utamanya!