Bupati Seluma Teddy Rahman Jadikan Seragam Sekolah Panggung Politik Murahan?
Opini Publik: Vox Populi Vox Dei
JurnalBengkulu.com - Kebijakan terbaru Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Seluma melalui surat edaran Nomor: 420/527/Disdikbud/VII/2025 soal penggunaan seragam sekolah, mendadak menyalakan bara protes di tengah masyarakat. Ketentuan yang mewajibkan peserta didik SD dan SMP mengenakan seragam olahraga bertuliskan “Seluma Emas Berlian” bukan hanya menyalahi aturan, tapi juga mencederai marwah pendidikan.
Pendidikan Terseret Politik
Sekolah mestinya menjadi ruang netral, steril dari kepentingan politik. Namun kini, ruang belajar dipaksa menjadi etalase slogan penguasa. “Seluma Emas Berlian” jelas merupakan jargon politik Bupati dan Wakil Bupati Seluma periode 2024–2029, bukan simbol resmi daerah. Ironis, karena Kabupaten Seluma sudah memiliki semboyan sah “Serasan Seijoan” yang diatur dalam Perda No. 1 Tahun 2007. Mengapa pemerintah daerah rela menanggalkan simbol resmi yang merekatkan identitas warga, hanya demi menonjolkan jargon politik sesaat?
Melanggar Regulasi Nasional
Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 jo. Permendikbud Nomor 50 Tahun 2022 tegas melarang penambahan tulisan, logo, atau lambang di luar identitas sekolah. Kebijakan Disdikbud Seluma karenanya dapat dibaca sebagai pelanggaran terbuka terhadap hukum nasional. Jika regulasi dilanggar oleh institusi resmi pemerintah sendiri, bagaimana mungkin kita berharap anak-anak menghormati aturan hukum di masa depan?
Beban Rakyat, Untung Birokrat
Yang lebih menyakitkan, aturan ini menambah beban biaya bagi orang tua. Seragam dengan embel-embel slogan politik itu diperkirakan menelan biaya lebih dari Rp 1 juta. Uang ini jelas memberatkan wali murid, apalagi di tengah kondisi ekonomi sulit. Publik bertanya: untuk siapa kebijakan ini dibuat? Untuk mendidik anak-anak atau sekadar menebalkan citra politik bupati Teddy Rahman dan kroninya?
Kritik wali murid begitu lugas: “Kalau memang harus pakai tulisan Seluma Emas Berlian, biar bupati dan wakil bupati yang bayar dengan uang mereka sendiri, bukan dari kantong rakyat.” Kritik ini bukan sekadar keluhan, melainkan tamparan moral yang menelanjangi motif kebijakan penuh muatan pencitraan.
Krisis Kepercayaan
Gelombang penolakan yang datang dari Komite SMPN 2 Seluma memperlihatkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah. Sekolah justru dipaksa menjadi panggung propaganda, murid-murid dijadikan billboard berjalan. Bupati Teddy Rahman dan aparaturnya tampak lebih sibuk merawat citra politik ketimbang merawat mutu pendidikan.
Jika kebijakan ini dibiarkan, jangan heran bila ke depan pendidikan Seluma kehilangan esensi: mendidik anak-anak menjadi manusia merdeka, bukan boneka politik.
Saatnya Bupati Bertanggung Jawab
Dalam kasus ini, Bupati Seluma Teddy Rahman tidak bisa bersembunyi di balik meja birokrat Disdikbud. Kepala Dinas hanyalah pelaksana. Publik menuntut bupati bertanggung jawab penuh, sebab jargon politik yang dipaksakan itu lahir dari kepentingan kekuasaan, bukan kebutuhan pendidikan.
Bupati harus menjawab: mengapa seragam sekolah dijadikan alat propaganda politik? Mengapa rakyat kecil harus menanggung biaya pencitraan? Mengapa simbol resmi daerah diabaikan demi slogan pribadi?
Cabut Segera Edaran Sesat
Opini publik sudah terang: kebijakan ini cacat hukum, cacat moral, dan cacat empati. Jalan keluarnya hanya satu — cabut segera surat edaran tersebut. Pendidikan Seluma harus dikembalikan ke jalurnya: netral, bebas dari kepentingan politik, dan berpihak pada anak serta orang tua.
Jika Bupati Teddy Rahman terus memaksakan diri, maka yang akan tercatat dalam sejarah bukanlah keberhasilan membangun Seluma, melainkan kegagalan menjaga martabat pendidikan. Dan ketika pendidikan sudah dijadikan alat kekuasaan, maka masa depan Seluma sesungguhnya sedang dipertaruhkan.