RUU Perampasan Aset: Pertarungan di Meja Kekuasaan
Opini Publik: Vox Populi Vox Dei
JurnalBengkulu.com - Dari Istana hingga Senayan, bola panas Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset terus bergulir. Setelah dua tahun terkatung-katung sejak diajukan pemerintah Joko Widodo pada 2023, kini DPR tiba-tiba ingin mengambil alih inisiatif pembahasannya.
“Kabar terakhir, kami dengar bahwa DPR akan mengambil alih inisiatif pengajuan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset itu menjadi inisiatif DPR, bukan lagi inisiatif dari pemerintah,” ujar Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, dalam akun YouTube-nya, Minggu, 7 September 2025.
Langkah ini terjadi di tengah desakan Presiden Prabowo Subianto. Sejak dilantik, Prabowo berulang kali meminta DPR segera membahas RUU yang dirancang untuk memotong jalur uang haram dari tindak pidana korupsi, narkotika, hingga pencucian uang.
Mandek di Era Jokowi
Sejatinya, RUU ini bukan barang baru. Pada 2023, pemerintahan Jokowi sudah mengajukan draf resmi. Namun, hingga masa jabatannya usai, DPR tak kunjung mengetuk palu pembahasan.
Banyak pihak menduga ada resistensi dari kalangan politik. Pasalnya, RUU ini memungkinkan negara merampas aset hasil kejahatan tanpa menunggu vonis pengadilan. Mekanisme ini, yang dikenal sebagai non-conviction based asset forfeiture, dianggap mengancam kantong para elite yang menyamarkan harta melalui keluarga, nominee, atau rekening di luar negeri.
Era Prabowo: DPR Bergerak
Tekanan politik berubah arah. Gelombang 17+8 tuntutan rakyat yang salah satunya menuntut pengesahan RUU Perampasan Aset, membuat DPR sulit lagi bersembunyi.
Kini mereka tampil sebagai pengusul. Sebuah manuver politik yang di satu sisi bisa dipandang sebagai kemauan baik, namun di sisi lain memberi ruang bagi DPR untuk mengendalikan isi RUU.Pemerintah, melalui Yusril, menyatakan akan menunggu. Begitu DPR menyerahkan draf ke Presiden, barulah Surpres diterbitkan untuk menunjuk menteri yang membahasnya.
Pertarungan Kepentingan
Inisiatif DPR bukan berarti jalan mulus. Justru, di meja legislatif, tarik-menarik kepentingan akan semakin kentara.
Elite politik dan oligarki ekonomi punya alasan kuat mengamankan pasal-pasal agar tidak mengancam aset mereka.
Pemerintah berupaya menunjukkan komitmen, tapi tak bisa memaksakan isi draf.
Lembaga penegak hukum (KPK, Kejaksaan, Polri) bisa diuntungkan, tapi juga bersaing menentukan siapa yang paling berkuasa mengeksekusi.
Filosofi dan Risiko
Secara filosofis, RUU Perampasan Aset adalah bentuk hukum progresif: berpihak pada keadilan substantif, bukan sekadar prosedur. Ia bisa menjadi game-changer dalam pemberantasan korupsi.
Namun, seperti diingatkan Foucault, hukum adalah instrumen kuasa. Tanpa pengawalan publik, RUU ini bisa berubah menjadi senjata politik: tajam ke lawan, tumpul ke kawan.Kesimpulan
RUU Perampasan Aset kini berada di persimpangan. Ia bisa menjadi tonggak sejarah pemberantasan korupsi, atau justru sekadar panggung pencitraan DPR.
Jawabannya akan ditentukan oleh seberapa kuat publik dan masyarakat sipil mengawal proses ini—agar ia tidak mati pelan-pelan di ruang rapat Senayan, seperti nasibnya dua tahun terakhir.