Kampanye Politil: Media Sosial Sebuah Ilusi
Oleh: Muhamad Alfarozy
Mahasiswa Program Studi Politik Islam Universitas Islam Negeri Mahmud Yunus Batusangkar
Pemilu adalah salah satu implementasi kedaulatan rakyat. Rakyat ikut menentukan masa depan mereka selama lima tahun ke depan. Tetapi sebelum tahap pemilihan banyak rangkaian yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Salah satunya masa kampanye, kampanye menurut UU Nomor 1 Tahun 2015 Pasal 1 angka 26 adalah “kegiatan Peserta Pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Peserta Pemilu”.Kampanye menurut artian undang-undang di atas adalah penyampaian pikiran-pikiran kepada pemilih dengan memakai media sebagai saluran penyampaian ataupun pengenalan. Pengenalan yang dilakukan oleh para calon-calon baik itu eksekutif dan legislatif melakukan berbagai cara. Ada yang mengkampanyekan secara konvensional dan ada juga dalam politik modern sekarang memakai media sosial.
Peralihan ini disebabkan kemajuan teknologi informasi. Perubahan teknologi informasi ini juga merembet ke dunia politik. Dunia politik juga menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Langkah itu juga sesuai dengan jumlah pengguna internet di Indonensia yang naik pesat karena peningkatan aksesibilitas dan penetrasi jaringan. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (AJI) pengguna internet di Indonesia lebih dari 200 juta pengguna internet (AJI dalam Putri dkk, 2024).
Salah satu artikel menarik yang ditulis oleh Angga Pratama dengan judul “ Membela Marxisme dari Standar Media Sosial” yang berbicara tentang perkembangan teknologi terhadap pengguna media sosial. Dalam tulisan tersebut menjelaskan silo informasi sebagai manajemen data dan mengambil peran di dalam sistem informasi, dimana satu komponen tidak dapat bergerak bebas untuk berkomunikasi dan berbagi informasi. Asumsi yang dikemukakan dalam tulisan tersebut adalah media sosial adalah manajemen informasi, yang didalamnya terdapat algoritma untuk mengurutkan informasi dan merekomendasikan berdasarkan dengan relevansi pengguna.
Dampak dari silo informasi mengakibatkan hiperrialitas. Hiperrialitas ini menyebabkan individu tidak lagi melihat keyakinan lainnya dan membuat keyakinannya sebagai kebenaran absolut. Walaupun dalam tulisan tersebut mencoba menjelaskan keadaan pengguna media sosial dalam melawan metanarasi.
Ulasan di atas bertujuan melihat dampak negatif dari media sosial terhadap sesuatu kebenaran. Presidium Masyarakat Anti Fitnah menyampaikan peningkatan hoax politik menjelang pemilu 2024. Kasus tersebut mencapai 664 kasus tiga bulan pertama 2023. Komifo mengatakan jumlah hoax 10 kali lipat meningkat antara tahun 2023 sampai 2024. Setelah pemilu, kominfo menangani 203 hoax pemilu yang tersebar melalui media sosial dengan total sebaran 2.882 konten yang tersebar melalui tiktok, youtube, facebook dan aplikasi lainnya ( DickiPrabowo dkk, 2025).
Pertanyaan yang timbul adalah, apakah pengguna media sosial di indonesia yang terkhusus memiliki hak pilih telah bijak dalam menggunakan media sosial sebagai alat penentuan pilihan politik? Kita semua tahu dalam media sosial ada algoritma yang mengatur. Seperti yang kita singgung di atas, algortima memainkan peran sentral dalam pembentukan opini publik. Algoritma ini juga menciptakan filter bubble dan echo chamber. Filter bubble menciptakan dimana pengguna hanya terpapar pandangan yang sejalan dengan kepercayaan mereka. Echo chamber menciptakan dimana pengguna hanya terpapar dengan informasi yang memperkuat pandangan mereka ( Alfatih, 2024).
Apalagi kita semua tahu penggunaan akun palsu, penggunaan teknik retorika dan psikologi emosional sebagai cara memanipulasi pengguna. Namun kita juga tahu media sosial sebagai alat propaganda oleh politisi dalam rangka menarik hati pemilih untuk memilihnya.
Banyak pendekatan yang dapat kita lakukan dalam menganalisis kampanye politik agar tidak dimanipulasi. Yang pertama, teori dramaturgi yang menjelaskan panggung depan dan panggung belakang dari sebuah aktor politik. Kampanye politik dilakukan sebagai tujuan jangka pendek dalam meraup suara. Di depan mereka memerankan diri sebagai citra yang baik. Tetapi di panggung belakang mereka telah melakukan setting bagaimana penampilan depan harus dilakukan. Siapa yang menjadi segmennya, isu apa yang di angkat. Kurang lebih ini adalah trik manipulasi.
Yang kedua, teori agenda setting. Teori agenda setting pertama kali ditemukan oleh Walter Lippman dan dan Bernard Cohen dan diperkenalkan oleh Maxwell Mccombs dan Donal Shaw. Mereka beranggapan bahwa apa yang dianggap orang sebagai masalah terpenting adalah apa yang dilaporkan media massa sebagai yang paling penting ( Efendi dalam Hidayah, 2024).
Tujuan dari agenda setting adalah untuk membentuk persepsi serta opini publik terhadap suatu isu. Peran media dalam pembentukan opini publik juga dimanfaatkan oleh oknum pemerintahan atau pihak yang berkepentingan. Ini juga bermanfaat untuk membuat citra positif kepasa masyarakat.
Salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden pada kontestasi politik yang berhasil adalah prabowo-gibran. Masa lalu prabowo yang dicederai kasus hak asasi manusia menjadi bulan-bulanan setiap perhelatan lima tahun sekali tersebut.
Hal tersebut membuat tim suskes prabowo memutar otak agar citra diri prabowo diterima oleh masyarakat. Melihat jumlah pemilih tahun 2024 didominasi oleh generasi Z dan millenial dengan mencapai 60% dari total pemilih. Merujuk data CSIS 2022 anak muda menjadikan media sosial sebagai sumber refrensi informasi utama.
Cara yang dilakukan dengan branding gemoy, visi misi yang menyentuh rakyat kecil seperti makan siang gratis dan susu gratis, dan intensitas media. Prabowo telah melakukan belanja iklan sebesar Rp. 8,67 miliar dari agustus 2020 sampai oktober 2023 (Farisa dalam Hidayah, 2024).
Komunikasi politik, kampanye politik, branding politik yang didukung perkembangan teknologi informasi memang menguntungkan. Secara biaya cukup fantastis dan juga tergantung media apa yang dipakai dan juga menjangkau semua lini. Tetapi hal tersebut tidak menyentuh hal substansial dalam politik sebagai cara mengatur hajat orang banyak. Contoh saja penggunaan artificial intelligent dalam pemilu.
MK mengabulkan sebagian permohonan yang di ajukan oleh Gugum Ridho putra. Inti permasalahannya adalah penggunaan ai yang berlebihan terhadap citra diri yang berkaitan sepanjang foto/ gambar bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Karena sebagai pemilih berhak mendapatkan informasi yang benar dan serta penggunaan ai juga merusak kualitas demokrasi.
Walaupun banyak perdebatan pro kontra terhadap putusan MK tersebut. Ini merupakan langkah awal keseriusan dalam menangani trik manipulasi kepada masyarakat.
Media sosial tidak hanya memberikan dampak negatif saja. Tetapi juga memiliki dampak positif seperti mempermudah akses informasi. Tetapi kalau tidak dikelola dengan baik akan berdampak buruk.
Berbagai upaya dalam menangani pelanggaran pemilu di media sosial telah diupayakan oleh bawaslu. Salah satunya dengan menghadirkan aplikasi gowaslu untuk mempermudah pengawasan dan pelaporan terkait kampanye propaganda yang juga dapat diakses oleh masyarakat. Namun masih banyak kendala oleh bawaslu dalam menegakkan aturan. Seperti minimnya jumlah personel bawaslu, penyebaran informasi media sosial yang cepat meluas, dan belum terjaminnya perlindungan bagi pelapor terhadap kampanye propaganda yang mengakibatkan masyarakat enggan untuk melapor (Ulvi.L 2024).
Kehidupan demokrasi tidak bisa dilepaskan dari media sosial sebagai alat kampanye politik. Transformasi kampanye politik konvensional ke kampanye politik modern memberikan dampak positif dan negatif terhadap kualitas demokrasi. Langkah yang dapat dilakukan adalah pencerdasan terhadap cara kerja media sosial ataupun media massa kepada pemilih.