Makna Filosofi Dibalik Tari Piring Minangkabau
Tari Piring merupakan salah satu tarian tradisional yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Tarian ini tidak hanya menarik secara visual, tetapi juga sarat dengan makna filosofis yang mencerminkan nilai-nilai, kepercayaan, dan pandangan hidup masyarakat Minangkabau. Dalam artikel ini, kita akan menggali lebih dalam makna filosofis yang terkandung dalam Tari Piring, mulai dari gerakan, properti, hingga konteks sosial budayanya.
Sebelum membahas makna filosofisnya, penting untuk memahami asal-usul Tari Piring. Tarian ini konon berawal dari kebiasaan masyarakat Minangkabau dalam melakukan upacara syukuran setelah panen. Para petani menari dengan membawa piring berisi hasil panen sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan atas berkah yang diberikan. Seiring waktu, tarian ini berkembang menjadi seni pertunjukan yang lebih kompleks dan memiliki nilai estetika tinggi.
Makna Filosofis dalam Gerakan Tari Piring yaitu :
1. Keseimbangan dan Harmoni
Gerakan para penari yang membawa piring di atas telapak tangan sambil melakukan berbagai gerakan rumit melambangkan pentingnya menjaga keseimbangan dalam hidup. Ini mencerminkan filosofi Minangkabau tentang keselarasan antara alam, manusia, dan Tuhan (alam takambang jadi guru).
2. Ketangkasan dan Kewaspadaan
Gerakan lincah dan cepat dalam Tari Piring menggambarkan ketangkasan dan kewaspadaan yang harus dimiliki oleh masyarakat Minangkabau. Ini sejalan dengan pepatah "alam takambang jadi guru" (alam terkembang jadi guru), yang mengajarkan untuk selalu belajar dari alam dan lingkungan sekitar.
3. Gotong Royong
Tari Piring biasanya dilakukan secara berkelompok, menunjukkan nilai gotong royong yang dijunjung tinggi dalam masyarakat Minangkabau. Gerakan yang saling melengkapi antar penari mencerminkan prinsip "barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang" (berat sama dipikul, ringan sama dijinjing).
4. Kebijaksanaan dalam Menghadapi Tantangan
Gerakan menari di atas pecahan kaca yang sering ditampilkan dalam Tari Piring modern melambangkan kebijaksanaan dalam menghadapi tantangan hidup. Ini sesuai dengan ajaran adat Minangkabau "lamak di awak katuju di urang" (enak bagi kita, disukai orang lain).
Makna Filosofis dalam Properti Tari Piring yaitu :
1. Piring sebagai Simbol Rezeki
Piring yang digunakan dalam tarian ini melambangkan wadah rezeki. Bentuknya yang bulat menggambarkan siklus kehidupan yang terus berputar. Ini mengajarkan bahwa rezeki harus digunakan dengan bijak dan dibagikan kepada sesama.
2. Lilin sebagai Penerangan
Dalam beberapa versi Tari Piring, lilin ditempatkan di atas piring. Lilin ini melambangkan penerangan atau ilmu pengetahuan yang harus terus dijaga dan disebarluaskan. Ini sesuai dengan filosofi Minangkabau "anak dipangku kamanakan dibimbiang" (anak dipangku kemenakan dibimbing).
3. Pecahan Kaca sebagai Ujian Hidup
Penggunaan pecahan kaca dalam Tari Piring modern melambangkan tantangan dan cobaan dalam hidup. Kemampuan untuk menari di atasnya tanpa terluka mencerminkan ketangguhan dan kebijaksanaan dalam menghadapi kesulitan.
Makna Filosofis dalam Konteks Sosial Budaya yaitu :
1. Penghormatan kepada Leluhur
Tari Piring sering dipentaskan dalam upacara adat sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur. Ini mencerminkan nilai "menjunjung tinggi nan tuo" (menghormati yang tua) dalam adat Minangkabau.
2. Rasa Syukur dan Kerendahan Hati
Asal-usul Tari Piring sebagai ungkapan syukur setelah panen mengajarkan pentingnya bersyukur atas nikmat yang diterima. Ini sejalan dengan ajaran Islam yang kuat dalam masyarakat Minangkabau, yaitu selalu bersyukur dan rendah hati.
3. Keseimbangan Dunia dan Akhirat
Tari Piring yang menggabungkan unsur keindahan (seni) dengan nilai-nilai spiritual mencerminkan keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat. Ini sesuai dengan filosofi "adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah" (adat bersendi syariat, syariat bersendi kitabullah).
4. Pelestarian Budaya
Eksistensi Tari Piring hingga saat ini menunjukkan komitmen masyarakat Minangkabau dalam melestarikan warisan budaya. Ini mencerminkan prinsip "nan elok dipakai, nan buruak dibuang" (yang baik dipakai, yang buruk dibuang) dalam menyikapi perubahan zaman.
Seiring perkembangan zaman, Tari Piring juga mengalami berbagai adaptasi, namun makna filosofisnya tetap dipertahankan:
1. Inovasi dalam Pertunjukan
Penambahan unsur akrobatik seperti menari di atas pecahan kaca tidak menghilangkan esensi filosofis tarian ini, justru menambah dimensi baru tentang ketangguhan menghadapi tantangan modern.
2. Tari Piring sebagai Identitas Budaya
Di era globalisasi, Tari Piring menjadi salah satu ikon budaya Minangkabau yang dikenal luas. Ini mencerminkan filosofi "dima bumi dipijak, di sinan langik dijunjuang" (di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung) dalam konteks menjaga identitas budaya.
3. Nilai Pendidikan
Pengajaran Tari Piring kepada generasi muda tidak hanya sebagai pelestarian budaya, tetapi juga sebagai media penanaman nilai-nilai filosofis Minangkabau.
4. Diplomasi Budaya
Pertunjukan Tari Piring di kancah internasional menjadi bentuk diplomasi budaya, mencerminkan filosofi "alam takambang jadi guru" dalam konteks berbagi kebijaksanaan lokal ke panggung global.
Meskipun Tari Piring terus berkembang, ada beberapa tantangan dalam mempertahankan makna filosofisnya:
1. Komersialisasi
Tuntutan industri pariwisata terkadang mengakibatkan pementasan Tari Piring yang lebih mementingkan aspek hiburan dibanding makna filosofisnya.
2. Kurangnya Pemahaman Generasi Muda
Banyak generasi muda yang mempelajari Tari Piring hanya sebagai keterampilan tanpa memahami makna filosofis di baliknya.
3. Modernisasi dan Globalisasi
Pengaruh budaya global kadang menggeser pemahaman dan apresiasi terhadap nilai-nilai filosofis lokal.
4. Standardisasi
Upaya standardisasi Tari Piring untuk kepentingan kompetisi atau pendidikan formal terkadang mengurangi keragaman interpretasi filosofis yang ada di berbagai daerah di Minangkabau.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, berbagai upaya dilakukan untuk melestarikan makna filosofis Tari Piring:
1. Pendidikan dan Sosialisasi
Pengajaran Tari Piring di sekolah-sekolah dan sanggar seni disertai dengan penjelasan mendalam tentang makna filosofisnya.
2. Penelitian dan Dokumentasi
Para akademisi dan budayawan aktif melakukan penelitian dan dokumentasi tentang makna filosofis Tari Piring untuk menjaga kelestariannya.
3. Revitalisasi Tradisi
Upaya menghidupkan kembali tradisi-tradisi yang terkait dengan Tari Piring, seperti upacara syukuran panen, untuk mengingatkan kembali akar filosofisnya.
4. Dialog Antar Generasi
Menciptakan ruang dialog antara generasi tua dan muda untuk mentransmisikan pemahaman tentang makna filosofis Tari Piring.
Tari Piring Minangkabau bukan sekadar pertunjukan yang memukau mata, tetapi juga merupakan manifestasi visual dari filosofi hidup masyarakat Minangkabau. Dari gerakan yang lincah hingga properti yang digunakan, setiap elemen dalam tarian ini memiliki makna mendalam yang mencerminkan kearifan lokal. Meskipun menghadapi berbagai tantangan di era modern, upaya untuk mempertahankan dan melestarikan makna filosofis Tari Piring terus dilakukan. Dengan demikian, Tari Piring tidak hanya akan bertahan sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai media pembelajaran nilai-nilai luhur yang relevan bagi kehidupan kontemporer. Memahami dan menghargai makna filosofis di balik Tari Piring adalah langkah penting dalam menjaga kekayaan budaya Indonesia sekaligus memetik kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh : Tri Hartati Ramadhani
Mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau, Universitas Andalas