MAISI SASUDUIK, TRADISI PERKAWINAN DI PAYAKUMBUH
Oleh : Maysah Hanum dari mahasiswa sastra Minangkabau Universitas Andalas Padang
Minangkabau merupakan salah satu etnis yang terdapat di Sumatera Barat. Secara geografis, persebaran etnik Minangkabau meliputi seluruh daratan Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, pantai barat Sumatera Utara, pantai barat daya Aceh, hingga Negeri Sembilan di Malaysia. Wilayah Minangkabau terbagi atas dua wilayah yaitu wilayah darek dan wilayah rantau .
Daerah darek meliputi luhak Tanah Datar, luhak Agam, dan luhak Lima Puluh Kota, yang merupakan inti dan asal dari Minangkabau. Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota terletak di dataran tinggi yang membentang di Bukit Barisan. Luhak Tanah Datar yang berpusat di Batusangkar, Luhak Agam yang berpusat di Bukittinggi, dan Luhak Lima Puluh Kota yang berpusat di Payakumbuh.
Rantau adalah suatu daerah tempat bermukim dan mencari penghidupan bagi orang Minangkabau dari daerah asalnya. Di rantau mereka tetap menjalankan adat istiadat nagari asal mereka. Rantau daerah Minangkabau mulanya meliputi daerah sekitar wilayah Luhak nan Tigo dan Kubuang Tigo Baleh. Tetapi yang lazim disebut orang adalah Rantau nan Tujuh Jurai yaitu, Rantau Kuantan, Rantau XII Koto, Rantau Cati nan Batigo, Rantau Tiku Piaman, Rantau Pasaman Aia Bangih, Rantau Kampar, dan Rantau Nagari Sambilan Malaysia.
Disamping persebaran wilayah, Minangkabau dikenal dengan sistem kekerabatannya, yakni Matrilineal. Yang mana sistem kekerabatan Matrilineal ini menarik garis keturunan dan suku dari pihak sang ibu. Hal ini juga yang menjadikan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris dari harta pusaka dan kekerabatan. Minangkabau juga memiliki tradisi budaya yang kaya dan unik. Salah satunya ada pada tradisi perkawinan.
Perkawinan adalah peristiwa penting dalam kehidupan. Perkawinan di Minangkabau bermakna luas dan dalam. Perkawinan bukan hanya sekedar ikatan atau penyatuan antara pengantin laki-laki dan pengantin perempuan. Perkawinan itu merupakan pertemuan antar dua keluarga. Nantinya keluarga laki-laki dengan keluarga perempuan akan diikat oleh tali ipa bisan, sumando pasumandan, minantu mintuo yang disebut ikatan kekerabatan.
Tradisi perkawinan disetiap daerah tentunya berbeda. Seperti yang ada di Payakumbuh atau Kabupaten Lima Puluh Kota yang masih dijalankan sampai sekarang. Tradisi perkawinan ini disebut dengan Maisi Sasuduik. Maisi Sasuduik merupakan adat perkawinan yang dimana pihak laki-laki akan menyediakan isi/perlengkapan kamar. Dahulu pihak laki-laki akan memberikan perlengkapan kamar paling sedikit seperti tempat tidur, kasur, lemari baju, meja rias dan perlengkapan kamar lainnya sebagai syarat untuk meminang perempuan. Selebihnya akan disesuaikan dengan kesanggupan dari pihak laki-laki. Sekarang Maisi Sasuduik tidak hanya dalam bentuk barang, tetapi dalam bentuk uang tunai yang kemudian akan diberikan kepada pihak Perempuan. Nantinya dari uang tersebut pihak Perempuan yang akan membeli barang, tetapi harus untuk keperluan kamar.
Maisi Sasuduik akan disampaikan dalam acara manaiakan siriah ketika pihak laki-laki beserta Mamaknya datang ke rumah pihak Perempuan. Setelah itu Mamak dari kedua belah pihak akan bermufakat tentang Maisi Sasuduik, apakah berupa barang atau berupa uang. Waktu pelaksanaannya kurang lebih satu bulan atau dua bulan sebelum dilaksankannya akad. Hal ini juga menjadi tanda apakah seorang laki-laki tersebut sudah siap atau belum untuk melaksanakan perkawinan. Selain menjadi syarat perkawinan, Maisi Sasuduik juga menjadi tanda awal rencana pernikahan dari kedua belah pihak yang bersifat mengikat.
Tradisi Maisi Sasuduik bukan hanya sekedar tradisi, tetapi terdapat makna yang terkandung didalamnya. Pada tradisi ini menunjukkan keseriusan dari pihak laki-laki dalam menikahi perempuan yang akan dinikahinya, menunjukkan bentuk tanggung jawab yang harus dilakukan laki-laki terhadap perempuan yang akan dinikahinya, dan juga menunjukkan harga diri laki-laki supaya tidak direndahkan.