Kekuatan Netizen dalam Menentukan Arah Kebijakan Publik pada Era Digital
Penulis : Indri Yani Eka Putri, Mahasiswa Departemen Ilmu Politik Universitas Andalas
Hasil survey terbaru yang di laporkan oleh lembaga survey asal Inggris We Are Social pada tahun 2023 menyebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 212,9 juta jiwa. Jumlah ini mengalami peningkatan yang signifikan jika di bandingkan dengan jumlah pada tahun sebelumnya sekitar 3,85 %. Jumlah ini berarti sekitar 77 % populasi di Indonesia telah menggunakan internet. Laporan tersebut membuat Indonesia terletak pada posisi ke 4 sebagai negara dengan populasi pengguna internet terbanyak di dunia setelah China pada posisi pertama, India posisi kedua dan Amerika Serikat pada posisi ketiga (DataIndonesia.id, 2022).
Laporan lain dari We Are Social dengan judul "Digital 2021: The Latest Insights Inti The State of Digital" melaporkan bahwa netizen indonesia rata rata menghabiskan waktu untuk menyelam di dunia internet sebanyak 8 jam 52 menit setiap harinya. Dan dari laporan tersebut Indonesia sukses menempatkan urutan 10 besar negara paling kecanduan menggunakan internet di dunia (We Are Social, 2021).
Selain menghabiskan waktu untuk menyelam di dunia internet, masyarakat Indonesia juga gemar mengakses media sosial. Ada 6 media sosial yang paling ramai digunakan masyarakat. WhatsApp (WA) menjadi aplikasi paling banyak digunakan oleh masyarakat dengan presentase yang mencapai 92,1 % disusul dengan Instagram mencapi 86,5 %, Facebook 83,8 %, Tiktok 70,8 %, Telegram 64,3 dan Twitter 60,2 %.
Pengguna internet di era digital dikenal dengan sebutan "netizen". Netizen yang terdiri dari dua kata, net berarti internet dan citizen berarti warga maka jika digabungkan netizen adalah warga internet. Istilah ini menjadi popular setelah berkembang pesatnya dunia teknologi informasi terutama nya media sosial. Media sosial digunakan oleh semua kalangan mulai dari generasi milenal bahkan orang tua masih menggunakan media sosial sebagai media komunikasi dan media ekspresi. Media sosial bukan hanya sebatas hiburan dan alat komunikasi semata, namun dapat bertranformasi menjadi ruang perjuangan untuk membawa isu-isu tertentu agar muncul ke permukaan sehingga banyak diperbincangkan atau dikenal dengan istilah "viral". Hal ini tidak terlepas dari pengaruh media dalam percaturan politik. Media sosial menjadi platform bagi netizen untuk berekspresi secara lebih bebas. Negara di dunia manapun termasuk Indonesia tidak mampu untuk membendung dan membatasi netizen dalam berkepresi di dunia massa. Media sosial bertransformasi menjadi ruang publik baru (the new public sphere) dimana pengguna nya mendapatkan ruang untuk mengartikulasikan dan mendiskusikan pendapat mereka secara bebas.
Jumlah netizen Indonesia yang sangat ramai tersebut memiliki kekuatan yang sangat dahsyat untuk menentukan arah kebijakan bahkan tidak jarang mengguncang sebuah negara. Seperti beberapa kasus waktu lalu yang tidak bisa dilepasakan dari kontribusi netizen. Pertama kasus terbunuhnya Brigadir Joshua Hutabarat. Dengan kontribusi netizen yang selalu membicarakan kasus tersebut di media massa yang kemudian mampu mengungkap pelaku sebenarnya, bahkan netizen mampu mengorek-ngorek institusi besar sekelas POLRI hingga akhirnya POLRI mengambil kebijakan untuk mereformasi institusi secara besar-besaran. Kedua kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy terhadap David Ozora, dengan bantuan kekuatan netizen kasus ini bukan hanya menyeret pelaku tapi juga menyeret orang tua bahkan tempat kerja orang tua pelaku yaitu kementrian keuangan (kemenkeu). Institusi sekelas kementrian pun tidak lepas dari goncangan netizen. Netizen juga mampu mengungkap gaya hidup flexing pejabat kementrian keungan khususnya Dirjen Pajak hingga mencuat isu korupsi 400 T, hingga pada akhirnya Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani mengambil kebijakan untuk mereformasi institusi secara besar besaran dengan mencopot pegawai bermasalah dan memutuskan untuk melakukan transparansi di dalam kementrian keungan. Terakhir kasus Bima yang mengkritik Lampung. Kritikan ini menjadi perbincangan hangat netizen bahkan sampai viral di media massa terutama tiktok. Hingga akhirnya Presiden Jokowi langsung turun tangan menangani masalah tersebut dan mengambil kebijakan untuk mengambil alih perbaikan jalan yang rusak dari pemerintah daerah lampung.
Beberapa kasus di atas menjadi contoh kecil bagaimana cuitan atau pendapat dari netizen menentukan arah kebijakan Indonesia kedepannya. Kebijakan di era digital harus mampu untuk melihat dan mengakomodir kepentingan netizen karena suara netizen di era digital adalah suara yang tidak bisa dibantah oleh siapapun. Netizen mampu untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Kicauan yang dihasilkan oleh netizen yang membentuk keributan sangat borpotensi besar berubah menjadi aspirasi yang kemudian akan berubah menjadi kebijakan. Suara netizen dapat menjadi pertimbangan dan perbincangan di ranah pemerintahan sehingga arah kebijakan pun bisa berubah.
Netizen menggunakan media massa bukan hanya untuk alat berkomunikasi dan mendapatkan informasi saja tetapi juga menjadi alat untuk mengekspresikan cara pandang terhadap isu tertentu. Selain itu, netizen juga menggunakan media massa sebagai aktivisme digital, yaitu bentuk perjuangan yang melakukan mobilisasi massa dengan menggunakan platform internet dan media digital untuk melakukan aksi politik yang mempengaruhi gerakan sosial. Gerakan ini dilakukan untuk menekan isu-isu tertentu seperti isu politik, ekonomi, sosial, budaya bahkan agama. Aktivisme digital menjadi sarana pergerakan dari akar rumput (Grassroot movement) yang kuat untuk melakukan mobilitasi politik dari bawah serta cara-cara baru untuk mendapatkan atensi dari pemerintah.
Namun sangat disayangkan sekali tingginya kuantitas netizen berbanding terbalik dengan rendahnya kualitas netizen. Kualitas netizen bisa dilihat dari tinggi atau rendahnya literasi digital, semakin tinggi literasi digital netizen semakin tinggi kualitas suara yang dihasilkan begitupun dan sebaliknya semakin rendah literasi digital netizen semakin rendah pula kualitas suara yang dihasilkan. Data menunjukan bahwa literasi digital Indonesia hanya mencapai 62 % sedangkan negara negara ASEAN lainnya mencapai 70 % bahkan Korea tingkat literasi nya mencapai 97 %. Data tersebut menunjukkan bahwa literasi digital Indonesia masih sangat rendah diantara negara negara ASEAN lainnya (CNBC, 2023).
Salah satu bukti rendahnya literasi digital netizen Indonesia adalah kurang nya etika dan sopan santun dalam berkomentar. Dilansir dari laporan Microsoft dengan judul "Digital Civility Index (DCI)" yang menempatkan netizen Indonesia sebagai netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara adalah buktinya. Selain tidak sopan, netizen Indonesia juga memiliki disiplin verifikasi yang rendah dan daya kritis yang rendah. Masih banyak netizen yang mudah percaya dengan berita berita hoax dan berita yang belum jelas sumber nya. Untuk itu agar suara netizen menjadi suara yang berkualitas dan mendapatkan atensi yang tinggi dari pemerintah serta mampu bertransformasi menjadi sebuah kebijakan maka perlu adanya peningkatan literasi digital yang bijak baik dilakukan oleh orang perorang, komunitas atau pun pemerintah itu sendiri.