Premanisme Politik Dewan Bengkulu: Ancaman bagi Iklim Investasi dan Kematian Etika Demokrasi
Oleh: Vox Populi Vox Dei
“Rakyat bukan korban, tapi pencipta Iblis Demokrasi.”
Kalimat itu kembali menemukan relevansinya di Bengkulu hari ini.
Ketika rakyat memilih tanpa kesadaran moral, maka yang lahir bukanlah wakil rakyat, melainkan preman politik berjubah kehormatan.Oknum Dewan dan Wajah Buram Kekuasaan
Catatan Vox Populi menunjukkan, dua oknum anggota DPRD Provinsi Bengkulu yang kerap tampil di publik dengan citra moral dan integritas, justru sering menjadi bahan pembicaraan sinis di kalangan kontraktor, pengusaha, dan instansi pemerintahan.
Nama mereka berulang kali disebut dalam berbagai laporan dan pesan yang diterima redaksi — bukan karena prestasi, melainkan karena perilaku intimidatif terhadap dunia usaha.
Mereka duduk di kursi dewan bukan untuk melayani, tetapi untuk memeras, menekan, dan menaklukkan pengusaha lokal dengan kekuasaan yang disalahgunakan.
Fenomena ini bukan sekadar kenakalan individu, melainkan refleksi dari sistem politik yang rusak dan saling melindungi.
Informasi yang diterima Vox Populi menunjukkan bahwa praktik seperti ini telah menjadi “rahasia umum” di Bengkulu — dibicarakan di lingkaran bisnis, pejabat, dan masyarakat, namun jarang diungkap secara terbuka.Ironisnya, perilaku ini bahkan disebut mendapat backup dari partai politik.
Inilah wajah asli demokrasi yang sakit: kebusukan moral dibentengi oleh loyalitas partai.Para oknum dewan itu bukan lagi pengawas kebijakan publik, melainkan penguasa kecil yang memeras dan menekan.
Perilaku mereka bahkan disebut-sebut lebih parah daripada oknum anggota DPRD Kota Bengkulu, Parizan Hermidi, yang kini telah berstatus tersangka di Kejaksaan.Ketika fungsi pengawasan berubah menjadi alat pemerasan, dan dukungan partai dijadikan tameng, maka demokrasi runtuh dari dalam.
Filsafat Kekuasaan yang Tersesat
Dalam perspektif filsafat politik, fenomena ini mencerminkan apa yang disebut pathology of power — penyakit kekuasaan yang melumpuhkan moral.
Lord Acton telah memperingatkan:
“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”
Namun di Bengkulu, kekuasaan bahkan tak perlu absolut untuk menjadi korup.
Cukup memiliki kursi dewan, tanda tangan, dan perlindungan partai, maka hukum dan moral bisa dinegosiasikan.Socrates pernah berkata bahwa politik sejati adalah seni menata kebajikan.
Namun di tangan para oknum yang kehilangan nurani, politik berubah menjadi seni memeras secara legal.
Kekuasaan tanpa rasa malu melahirkan tirani kecil di balik simbol demokrasi.Kritik Sosial-Budaya: Dari Rasa Malu ke Mati Rasa
Bengkulu memiliki falsafah luhur seganti setungguan (kebersamaan) dan beselang kekeluargaan (tanggung jawab moral).
Namun kini, nilai-nilai itu digantikan oleh politik patronase dan budaya transaksional.Pemerhati budaya Bengkulu, Cik Ben, pernah menyindir pedas:
“Pemimpinnya beruk, rakyatnya kucing air.”
Sebuah metafora tajam tentang penguasa rakus dan rakyat jinak:
rakyat yang tahu salah tapi diam, dan penguasa yang tahu malu tapi tetap melakukannya.Budaya isin (malu) telah digantikan oleh budaya bisu (takut).
Dan ketika masyarakat berhenti marah, kejahatan akan beranak pinak di ruang kekuasaan.Iklim Investasi yang Membeku
Premanisme politik di Bengkulu kini mulai berimbas pada sektor ekonomi.
Para pengusaha lokal dan investor nasional enggan menanamkan modal, bukan karena faktor ekonomi, melainkan karena ketidakpastian moral dan politik.Mereka takut menghadapi sistem yang tak transparan — sistem di mana izin bisa dibeli, tetapi juga bisa dijegal bila tak mau “berbagi.”
Kondisi ini menciptakan efek domino:
pembangunan tersendat, lapangan kerja terhambat, dan ekonomi rakyat membeku.Bagaimana Bengkulu bisa tumbuh jika penggerak ekonominya ditekan oleh kekuasaan yang semestinya melindungi?
Bagaimana rakyat bisa percaya pada negara, jika lembaga demokrasi justru menghisap darah ekonomi daerahnya sendiri?Kematian Etika Politik
Apa yang terjadi hari ini adalah kematian etika politik di Bengkulu.
Demokrasi yang seharusnya menjadi jalan menuju kesejahteraan, kini menjelma menjadi teater moral palsu — tempat wakil rakyat berakting membela publik, tetapi di balik layar memperjualbelikan kepercayaan rakyat.Aristoteles pernah menulis:
“Negara yang kehilangan moral dalam politiknya akan hancur, bukan oleh musuh, tapi oleh dirinya sendiri.”
Dan mungkin Bengkulu sedang menuju ke arah itu — bukan karena bencana alam, melainkan karena bencana moral yang dibiarkan tumbuh oleh sistem politik yang busuk dan rakyat yang diam.
Sebab, jangan lupa:
“Rakyat bukan korban, tapi pencipta Iblis Demokrasi.”
Preman berjubah “Dewan Terhormat” itu lahir bukan dari partai semata,
melainkan dari bilik suara rakyat yang memilih tanpa nurani.