Alih Aksara: Hikayat Nabi Nuh ala Maluku
(Rias Antho Rahmi Suharjo)
oleh : Windia Jelipa Putri, Mahasiswi Universitas Andalas
"Alih Aksara: Hikayat Nabi Nuh ala Maluku" karya Rias Antho Rahmi Suharjo adalah sebuah karya yang menggugah dan menginspirasi. Dalam buku ini, penulis menghadirkan kisah yang mengalihaksarakan kisah Nabi Nuh ke dalam konteks budaya dan kearifan lokal di Maluku.
Melalui tulisannya, Rias Antho Rahmi Suharjo tidak hanya mengubah karakter dan latar belakang kisah, tetapi juga memberikan pesan moral yang dalam kepada pembacanya. Salah satu elemen yang membuat karya ini menarik adalah penggabungan antara nilai-nilai agama dengan tradisi lokal Maluku. Dalam versi ini, Nabi Nuh bukan hanya dianggap sebagai nabi dalam Islam, tetapi juga menjadi bagian dari sejarah dan kepercayaan masyarakat Maluku.
Hal ini mengilustrasikan betapa pentingnya menghormati dan menghargai berbagai kepercayaan dan budaya yang ada di Indonesia. Pengalaman Nabi Nuh dalam membangun bahtera sebagai bentuk peringatan atas banjir besar juga memberikan pelajaran yang relevan dalam konteks kehidupan modern. Pesan tentang pentingnya persiapan, kesabaran, dan keberanian dalam menghadapi bencana alam atau ujian kehidupan merupakan hal yang bisa diterapkan oleh siapa pun, tidak terbatas pada satu agama atau budaya tertentu. Selain itu, karya ini juga menyoroti pentingnya keselarasan antara manusia dan alam.
Dalam cerita ini, banjir besar yang menjadi bencana besar diinterpretasikan sebagai akibat dari ketidakseimbangan antara manusia dan alam. Pesan tentang keberlanjutan, pelestarian lingkungan, dan tanggung jawab manusia terhadap bumi menjadi tema yang diangkat melalui kisah Nabi Nuh.
Dengan mengalihaksarakan kisah Nabi Nuh ke dalam konteks lokal Maluku, Rias
Antho Rahmi Suharjo berhasil menciptakan sebuah karya yang mendalam dan menginspirasi.
Buku ini tidak hanya menghibur, tetapi juga mengajak pembacanya untuk merenungkan makna
yang lebih dalam tentang agama, budaya, dan hubungan antara manusia dan alam.
Dalam alih aksara tersebut juga mengungkapkan tentang asal-usul kisah Nabi Nuh yang
berdasarkan naskah Hikayat Nabi Nuh Ala Maluku yang disimpan di Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia. Naskah ini ditulis dalam aksara Latin dengan bahasa Melayu Ambon dan
memiliki penomoran halaman menggunakan aksara Arab.Teks naskah ini memiliki panjang
40 halaman, dan telah selesai disalin pada bulan Ramadhan tahun 1782 oleh seorang Juru Tulis
Melayu bernama Wajang. Kisahnya bermula ketika kapal Nabi Nuh tenggelam di laut Kulzum,
dan bagian-bagian kapalnya berubah menjadi wilayah-wilayah di Kepulauan Maluku.
Misalnya, kapalnya menjadi Gunung Menkerat, tiang kapalnya menjadi Gunung Terie, dan
haluan kapalnya menjadi Gunung Salagaranya. Pakaian, rede, keris, tongkat, peti, dan papan
Nabi Nuh tersebar ke berbagai wilayah, seperti Cina, Hatuha, Makasar, Bali, Buton, dan Kei.
Dalam kisah tersebut, terdapat juga kisah tentang setan yang ikut berlayar dengan Nabi
Nuh, yaitu Tadjallah Laknatullah, yang berwasiat agar badannya dibagi-bagikan setelah ia mati.
Burung merpati yang dilepaskan oleh Nabi Nuh membawa kabar tentang Tanah Bandang, di
mana Nabi Nuh singgah sebelum pulang ke Mekah dan Madinah.Di Tanah Bandang,
ditemukan sepohon kayu di gunung api yang berbuah lima biji, dan buah-buah tersebut
menjelma menjadi manusia. Kisah tersebut merupakan bagian dari warisan budaya dan
kearifan lokal di Maluku yang telah diabadikan dalam bentuk naskah kuno. Dengan alih aksara
dan pelestarian naskah-naskah seperti ini, warisan budaya Indonesia dapat terus dijaga dan
dilestarikan untuk generasi mendatang. Selain kisah tentang Nabi Nuh dan perjalanan kapalnya
yang tenggelam, naskah Hikayat Nabi Nuh Ala Maluku juga mencakup cerita tentang Tanah
Bandang, di mana ditemukan sepohon kayu di gunung api yang berbuah lima biji. Biji-biji
tersebut kemudian menjelma menjadi manusia, yang di antaranya terdapat empat laki-laki dan
satu perempuan bernama Boei Ratan.Mereka membentuk masyarakat di Tanah Bandang
dengan tokoh-tokoh seperti Raja Loetaka, Raja Ajer Lengngoewar, Raja Dalam, dan Raja
Roeson. Kisah ini menunjukkan asal-usul masyarakat di Tanah Bandang yang diyakini sebagai
hasil dari peristiwa yang terjadi setelah tenggelamnya kapal Nabi Nuh. Hal ini mencerminkan
keberagaman cerita dan kepercayaan yang diwariskan secara lisan atau tertulis di berbagai
wilayah, termasuk Maluku. Naskah ini tidak hanya memuat kisah keagamaan, tetapi juga
mengandung unsur-unsur mitologi dan legenda yang menggambarkan keberagaman budaya
dan kepercayaan di masyarakat tersebut.
Dengan memperkenalkan kisah-kisah seperti ini, naskah kuno seperti Hikayat Nabi
Nuh Ala Maluku tidak hanya menjadi sumber informasi tentang sejarah dan kebudayaan, tetapi
juga menjadi bagian dari identitas dan warisan budaya bangsa. Pentingnya pelestarian naskahnaskah kuno seperti ini tidak hanya untuk menjaga keberlangsungan warisan budaya, tetapi
juga untuk memperkaya pemahaman tentang sejarah dan keberagaman budaya Indonesia.